Loading politikus.id

Memuat konten...

Memuat halaman...

Cari Berita

Kategori Populer:

opini

Dua Ketua, Dua Nasib: Golkar Naik, PDIP Turun - Siapa Yang Tersisih?

Golkar dan PDI Perjuangan Sumut menghadapi ujian lewat Musda dan Konferda. Golkar harus memilih: mempertahankan Ijeck sebagai simbol kemenangan atau mengorbankannya demi kompromi elit. PDIP pun dilema: menyingkirkan Rapidin demi regenerasi atau bertahan pada loyalitas berisiko stagnan jelang Pilgub

KEVIN CHARLIE SHEEN SITUMEANG (Kader Permahi Medan) (Kontributor)
20:58 WIB
95
6 min baca
BAGIKAN:
Font:
Dua Ketua, Dua Nasib: Golkar Naik, PDIP Turun - Siapa Yang Tersisih?
Dua Ketua, Dua Nasib: Golkar Naik, PDIP Turun - Siapa Yang Tersisih?

POLITIKUS.id - Politik di Sumatera Utara hari ini menghadirkan drama yang tidak kalah panas dibandingkan hiruk-pikuk di arena nasional. Dua partai besar, Golkar dan PDI Perjuangan, sama-sama berada di persimpangan jalan. Musyawarah Daerah (Musda) Golkar dan Konferensi Daerah (Konferda) PDI Perjuangan menjadi panggung penting, bukan sekadar forum seremonial, melainkan arena penentuan arah partai sekaligus ujian kepemimpinan. Pada titik inilah, dua nama besar Musa Rajekshah atau Ijeck di tubuh Golkar, dan Rapidin Simbolon di tubuh PDI Perjuangan berada di ujung tanduk.
Sebagai kader sekaligus peneliti yang akrab dengan dinamika organisasi pergerakan, saya melihat persoalan ini bukan sekadar soal kursi ketua. Yang dipertaruhkan jauh lebih besar: prestasi elektoral, legitimasi internal, dan implikasi jangka panjang menuju Pilgub Sumut 2029. Di balik nama dan jabatan, ada pertanyaan besar yang menggema: apakah Golkar akan memperkuat kemenangan dengan tetap mempertahankan Ijeck? Dan apakah PDI Perjuangan berani menyingkirkan Rapidin demi masa depan 2029?

Di Golkar, posisi Ijeck sebenarnya relatif aman jika diukur dari prestasi elektoral. Pada Pemilu 2024 lalu, Golkar berhasil menempatkan kadernya sebagai Ketua DPRD Sumut sebuah capaian yang tak bisa dipandang remeh. Ini menandakan bahwa Golkar bukan hanya mampu mempertahankan basis tradisional, tetapi juga menembus kantong suara baru. Dengan kata lain, kemenangan adalah legitimasi tertinggi dalam logika partai, dan Ijeck sudah membuktikan diri. Namun, politik Golkar tidak pernah sesederhana hitungan kursi. Musda yang idealnya menjadi forum konsolidasi justru bisa berubah menjadi arena penggembosan, apalagi jika dipimpin oleh kubu yang berseberangan dengan Ijeck.

Skema internal Golkar memperlihatkan dua arus besar. Faksi pro-Ijeck menilai bahwa dirinya adalah aset emas yang bisa mengunci kemenangan partai sekaligus memperbesar daya tawar di panggung nasional. Ia populer, punya jaringan luas, dan terbukti bisa mengantarkan partai ke puncak DPRD. Sebaliknya, faksi anti-Ijeck khawatir bahwa dominasi Ijeck akan menjadikan Golkar sekadar kendaraan pribadi. Mereka mendorong munculnya figur lain, meski secara elektoral tak sekuat Ijeck. Jika Musda diarahkan untuk menyingkirkan Ijeck, Golkar menghadapi risiko besar: kehilangan figur populer, terpecah oleh konflik internal, bahkan jatuh ke posisi partai penggembira di Sumut. Sebaliknya, jika Ijeck bertahan meski menghadapi perlawanan internal, legitimasinya justru semakin kokoh. Ia bukan sekadar pemenang di mata publik, tetapi juga survivor dalam intrik partai.

Sementara itu, PDI Perjuangan menghadapi dilema yang tak kalah pelik. Rapidin Simbolon adalah kader loyal dan ideologis, sosok yang teguh dengan garis partai. Namun, realitas elektoral tidak bisa dibantah. Meski jumlah kursi PDIP bertambah, kehilangan posisi Ketua DPRD menjadi pukulan telak, seolah simbol supremasi partai di Sumut runtuh di bawah kepemimpinan Rapidin. Bagi sebuah partai yang selama ini menjadikan prestasi elektoral sebagai bukti kesetiaan pada rakyat, kekalahan simbolis ini tidak bisa dianggap enteng.
Skema internal PDIP pun terbelah. Faksi pro-Rapidin berpegang pada argumentasi loyalitas. Menurut mereka, Rapidin masih punya basis militan, terutama di kawasan Tapanuli, dan tetap mewakili garis perjuangan partai. Namun, faksi anti-Rapidin menilai partai butuh regenerasi untuk menyongsong 2029. Loyalitas tanpa prestasi elektoral dianggap berisiko membawa partai ke stagnasi. Konferda nanti menjadi ajang evaluasi keras: apakah PDIP akan tetap bertahan dengan figur yang loyal tetapi kehilangan daya tawar, atau berani membuka jalan bagi generasi baru yang lebih segar?

Pertarungan di dua partai ini tentu tidak berhenti pada Musda dan Konferda. Implikasinya jauh ke depan, terutama menuju Pilgub Sumut 2029. Jika Ijeck bertahan di Golkar, maka partai ini semakin solid dan berpeluang besar mendominasi panggung politik Sumut. Popularitasnya bisa menjadikan ia kandidat kuat gubernur, atau minimal king maker dengan daya tawar besar dalam koalisi. Namun, jika Ijeck tersingkir, Golkar kehilangan magnet elektoral. Kelompok loyalisnya bisa saja berbalik arah, bahkan mendukung kandidat dari luar Golkar. Dalam skenario ini, beringin terancam kehilangan momentum, hanya menjadi partai penggembira, dan sulit mengulang kejayaan Pemilu 2024.

Di sisi lain, jika PDIP tetap mempertahankan Rapidin, partai ini memberi sinyal bahwa loyalitas lebih penting daripada prestasi. Tetapi risiko elektoralnya jelas: publik bisa menilai PDIP menutup mata pada kegagalan simbolis. Pada 2029, PDIP bisa kehilangan daya tarik, apalagi jika berhadapan dengan figur-figur muda dari partai lain. Sebaliknya, jika PDIP berani mengganti Rapidin, partai ini punya peluang memulihkan citra sebagai organisasi yang responsif terhadap dinamika elektoral. Figur baru bisa membuka ruang konsolidasi dan memperbaiki arah partai. Namun, pergantian juga membawa risiko gesekan internal, terutama di kalangan loyalis Rapidin. Stabilitas partai pun menjadi taruhan.

Pertanyaannya, bagaimana semua ini akan berimbas pada Pilgub Sumut 2029? Jika Golkar berhasil mempertahankan Ijeck, peluang mereka untuk menguasai kursi gubernur sangat besar. Tetapi jika Musda justru menyingkirkannya, jalan kemenangan bisa terbuka bagi lawan, termasuk PDIP. Jika PDIP mempertahankan Rapidin, partai ini berisiko tertinggal jauh di belakang Golkar. Namun jika berani mengganti, PDIP bisa tampil segar dan menantang dominasi beringin.

Sumatera Utara bukanlah panggung lokal belaka. Ia adalah provinsi dengan jumlah pemilih besar, yang setiap musim pemilu selalu menjadi rebutan. Apa yang diputuskan Golkar dan PDIP hari ini akan bergema hingga Jakarta. Jika Golkar mempertahankan Ijeck, mereka membawa suara besar untuk koalisi nasional. Jika PDIP menemukan figur baru, mereka bisa menjadikan Sumut sebagai basis untuk kembali bangkit. Dalam bahasa sederhana, Pilgub Sumut 2029 adalah miniatur pertarungan politik nasional.

Maka, ujungnya adalah dua pertanyaan tajam: apakah Golkar berani mempertahankan Ijeck demi kemenangan, atau justru mengorbankannya demi kompromi elit internal? Dan apakah PDIP berani menyingkirkan Rapidin demi masa depan 2029, atau bertahan dalam loyalitas yang berisiko stagnan?
Jawaban atas dua pertanyaan itu akan menentukan wajah politik Sumut sekaligus memberi isyarat ke arah mana dinamika nasional akan bergerak. Publik Sumut kini menunggu, siapa yang akan bertahan, siapa yang akan tersisih? Politik, pada akhirnya, tidak hanya soal angka kursi. Ia adalah soal keberanian partai mengambil keputusan strategis pada saat genting. Dan di Sumatera Utara, panggung itu sedang dibuka lebar-lebar.

Pada akhirnya, Musda Golkar dan Konferda PDI Perjuangan di Sumatera Utara bukan hanya ajang perebutan kursi ketua partai. Keduanya adalah titik krusial yang akan menentukan peta politik menuju Pilgub 2029, bahkan memengaruhi dinamika nasional. Golkar dihadapkan pada pilihan: mempertahankan Ijeck sebagai simbol kemenangan atau mengorbankannya demi kompromi elit yang berisiko melemahkan basis elektoral. PDI Perjuangan pun diuji: berani menyingkirkan Rapidin demi regenerasi dan masa depan, atau bertahan pada loyalitas yang kian rapuh di mata publik.

Keputusan yang diambil bukan sekadar urusan internal, tetapi pesan politik bagi rakyat Sumut: apakah partai masih peka membaca arah zaman, atau justru terjebak dalam drama internal yang menggerus legitimasi. Sumut tidak bisa menunggu partai yang sibuk dengan intrik. 2029 semakin dekat, dan rakyat menghendaki kepemimpinan yang kuat, visioner, serta berani mengambil langkah besar.

Dengan demikian, Musda dan Konferda ini adalah cermin: apakah Golkar dan PDI Perjuangan siap menjawab tantangan masa depan, atau memilih terperosok dalam bayang-bayang masa lalu.

TAG:

politik partai politik pdi perjuangan golkar musda konferda