Loading politikus.id

Memuat konten...

Memuat halaman...

Cari Berita

Kategori Populer:

opini

Gaji DPRD Sumut Rp 80–111 Juta per Bulan: Wajar atau Membebani Rakyat?

Isu penghasilan DPR kembali disorot. Setelah DPR RI hentikan tunjangan rumah per 31 Agustus 2025, perhatian publik tertuju ke DPRD Sumut, di mana anggota menerima Rp 86–111 juta per bulan, belum termasuk tunjangan reses, honor alat kelengkapan, dan biaya perjalanan dinas miliaran dari APBD.

Admin Politikus
12:48 WIB
91
4 min baca
BAGIKAN:
Font:
Gaji DPRD Sumut  Rp 80–111 Juta per Bulan: Wajar atau Membebani Rakyat?
Gaji DPRD Sumut Rp 80–111 Juta per Bulan: Wajar atau Membebani Rakyat?

POLITIKUS.id - Isu penghasilan dan tunjangan DPR belakangan kembali menjadi sorotan publik. Di tingkat nasional, DPR RI memicu gelombang kritik hingga akhirnya menghentikan tunjangan perumahan mulai 31 Agustus 2025. Gelombang aksi yang lahir dari isu DPR RI ini kemudian mengarahkan sorotan publik ke DPRD di daerah, termasuk DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

Berdasarkan Pergub Sumut Nomor 7 Tahun 2021, anggota DPRD menerima penghasilan bulanan antara Rp 86 juta (anggota) hingga Rp 111 juta (ketua). Angka ini di luar tunjangan reses Rp 63 juta per tahun, honor alat kelengkapan dewan, serta biaya perjalanan dinas miliaran rupiah yang dibiayai APBD. Secara hukum, penghasilan ini sah. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah penghasilan sebesar itu wajar, atau justru membebani rakyat di tengah kondisi ekonomi Sumut yang melemah?

Legalitas Formal vs Legitimasi Substantif 

Secara prosedural, hak keuangan DPRD Sumut memiliki landasan hukum jelas: PP No. 18 Tahun 2017, Perda No. 7 Tahun 2017, dan Pergub No. 7 Tahun 2021. Aturan ini merinci komponen penghasilan, mulai dari uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan komunikasi intensif, hingga tunjangan rumah.

Namun, legalitas formal tidak serta-merta menjawab persoalan legitimasi substantif. Besaran penghasilan yang tinggi menimbulkan kesan elitism, terutama jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata masyarakat Sumut yang jauh di bawah angka tersebut. Legitimasi rakyat terhadap wakilnya bukan hanya soal keabsahan hukum, tetapi juga soal kepatutan moral.

Rasionalitas Anggaran dan Efektivitas Fungsi

Prinsip good governance menuntut setiap pengeluaran publik mengacu pada asas efisiensi dan efektivitas. Dalam konteks ini, beberapa komponen penghasilan DPRD Sumut menimbulkan pertanyaan:

  • Tunjangan rumah Rp 40–60 juta per bulan: Nilai ini setara dengan biaya sewa hunian mewah. Rasionalitasnya dipertanyakan, mengingat mayoritas warga Sumut masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
  • Tunjangan komunikasi intensif Rp 21 juta per bulan: Idealnya digunakan untuk menjalin interaksi dengan masyarakat. Namun tanpa indikator kinerja yang jelas, tunjangan ini rawan dianggap sekadar tambahan tanpa kontribusi nyata terhadap peningkatan representasi.
  • Tunjangan reses Rp 21 juta per-reses atau Rp 63 juta per tahun: Meski dimaksudkan untuk menyerap aspirasi, mekanisme pertanggungjawaban reses sering kali tertutup, sehingga manfaatnya sulit diukur.

Dengan total penghasilan mencapai Rp 86–111 juta per bulan, rasionalitas belanja publik untuk DPRD patut dievaluasi. Apalagi ketika output legislasi, kualitas pengawasan, dan keterlibatan DPRD dalam pembangunan daerah masih sering menuai kritik.

Perspektif Keadilan Sosial

Dari perspektif etika politik, ketimpangan penghasilan DPRD dengan kondisi sosial-ekonomi rakyat menimbulkan masalah moral. Teori keadilan John Rawls menyebutkan bahwa ketidaksetaraan hanya bisa dibenarkan jika membawa manfaat bagi kelompok paling lemah.

Dalam kenyataannya, Sumut masih menghadapi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Tunjangan rumah Rp 60 juta per bulan bagi ketua DPRD sulit dibenarkan ketika sebagian masyarakat di daerah pedalaman masih kesulitan akses listrik, pendidikan, dan layanan kesehatan. Jurang ini memperlebar krisis kepercayaan publik terhadap DPRD.

Implikasi Politik dan Demokrasi 

Penghasilan DPRD yang besar tanpa transparansi pertanggungjawaban dapat memperlemah legitimasi lembaga legislatif. Publik berpotensi semakin apatis terhadap politik ketika melihat wakil rakyat lebih menonjolkan kenyamanan finansial ketimbang kinerja representasi.

Lebih jauh, isu gaji fantastis ini bisa menciptakan ketegangan sosial. DPRD dapat dilihat bukan sebagai “rumah rakyat”, melainkan sebagai simbol kemewahan yang jauh dari realitas rakyat. Dalam jangka panjang, krisis legitimasi ini berbahaya bagi demokrasi daerah.

Langkah Korektif yang Mendesak

Untuk menjawab apakah gaji DPRD Sumut wajar atau justru membebani rakyat, ada beberapa langkah korektif yang perlu segera ditempuh:

1. Hapus Tunjangan Rumah

DPRD Sumut perlu mengikuti langkah DPR RI dengan menghapus tunjangan rumah yang nilainya Rp 40–60 juta per bulan. Besaran ini tidak masuk akal jika dibandingkan dengan standar biaya hidup di Sumut dan kondisi ekonomi daerah yang melemah.

2. Tunjangan Berbasis Kinerja

Komponen seperti tunjangan komunikasi intensif Rp 21 juta per bulan dan tunjangan reses Rp 63 juta per tahun harus dihubungkan dengan indikator kinerja konkret. Misalnya: jumlah forum publik yang terdokumentasi, publikasi laporan reses, serta tindak lanjut aspirasi masyarakat.

3. Transparansi dan Akuntabilitas

DPRD Sumut wajib mempublikasikan laporan rinci penggunaan tunjangan—baik reses, komunikasi intensif, maupun perjalanan dinas—secara berkala. Transparansi ini penting untuk memastikan legitimasi publik dan mencegah persepsi negatif bahwa tunjangan hanya menjadi privilese politik.

Penutup

Penghasilan DPRD Sumut Rp 80–111 juta per bulan memang sah secara hukum. Namun, di tengah kondisi ekonomi daerah yang melemah, angka tersebut sulit diterima secara moral dan sosial. Bagi rakyat, gaji fantastis ini lebih tampak sebagai beban ketimbang insentif representasi.

 

poliTIKUS menegaskan bahwa DPRD Provinsi Sumut harus mengikuti jejak DPR RI dengan menghapus tunjangan perumahan. Langkah ini bukan hanya soal penghematan anggaran, tetapi juga soal merawat legitimasi politik dan mengembalikan makna DPRD sebagai wakil rakyat, bukan sekadar penikmat anggaran.

 

Catatan poliTIKUS.

TAG:

dprd sumut tunjangan gaji